Minggu, 22 Juni 2008

UNDANG UNDANG KOSMETIK

Perlindungan Konsumen
Keamanan Permen dan Kosmetik

Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan atau BBPOM mengadakan operasi permen berformalin. Dalam kurun waktu enam bulan terakhir, berita tentang perlindungan konsumen terus bermunculan. Sebab, kasus mi berformalin sampai dengan tidak dicantumkannya pengawet dalam label minuman dalam kemasan merupakan rentetan kejadian pelanggaran akan hak dasar konsumen yang sebenarnya dilindungi undang-undang.

Tidak bisa dibayangkan risiko yang ditanggung konsumen setelah mengonsumsi permen yang diduga mengandung formalin. Bayangan lebih menakutkan muncul apabila kita mengetahui bahwa barang konsumsi dengan spesifikasi permen tidak hanya dikonsumsi oleh orang dewasa, tetapi juga anak-anak.

Sejak tahun 1999 Indonesia telah memiliki undang-undang yang memberikan perlindungan kepada konsumen, yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang pada April 2007 genap berusia delapan tahun.

Hasil konkret dari pemberlakuan undang-undang tersebut, misalnya, konsumen mulai terbiasa memerhatikan batas waktu kedaluwarsa sebelum membeli sebuah produk. Konsumen juga mulai membiasakan diri membaca keterangan tentang rincian bahan baku yang terkandung di dalam barang yang dibelinya.

Dalam bidang perlindungan konsumen, secara umum tugas pemerintah tercantum dalam Pasal 3 UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan menghindarkan diri dari ekses negatif pemakaian barang dan atau jasa.

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.

6. Meningkatkan kualitas barang dan atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Tugas pemerintah yang relatif sulit diwujudkan berkaitan dengan yang tercantum dalam huruf d Pasal 3 UU No 8/1999, di mana di dalamnya tersirat tugas menyinergikan undang-undang yang satu dengan yang lain, khususnya UU No 8/1999 dengan undang-undang lain. Sebab, penegakan hukum UU Perlindungan Konsumen dapat terlaksana apabila penegakan dilakukan tidak hanya dalam konteks penegakan undang-undang tersebut, tetapi juga dalam konteks penegakan undang-undang yang lain. Masalah perlindungan

Secara empirik, sering kali terjadi pelanggaran yang sifatnya mendasar, seperti pelaku usaha menjual barang kedaluwarsa. Namun, tidak ada tindakan hukum karena kurangnya kuantitas dan kualitas SDM yang berwenang. Kurangnya kuantitas SDM berdampak pada kurangnya kontrol terhadap pelaku usaha. Adapun kurangnya kualitas SDM akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran oleh pelaku usaha tanpa disertai tindakan hukum atas apa yang dilakukan pelaku usaha tersebut oleh pihak berwenang.

Menilik pelaku penegakan hukum lainnya, yaitu pelaku usaha, mereka dituntut lebih profesional dan bertanggung jawab dengan tidak hanya mengedepankan keuntungan semata, tetapi juga kualitas produk yang tentunya aman bagi konsumen.

Di sisi lain, masyarakat atau konsumen pada umumnya dituntut semakin kritis terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha. Terhadap produk-produk barang, konsumen hendaknya selalu teliti dalam membeli dengan memerhatikan masa waktu kedaluwarsa, bahan baku barang tersebut, dan kandungan peng-awet yang terdapat di dalamnya, seperti natrium benzoat (na benzoat) atau kalium zorbat (K zorbat).

Na benzoat dan K zorbat adalah dua nama pengawet makanan yang sering kali kita baca dan temukan dalam kemasan makanan atau minuman. Namun, pada umumnya pencantuman istilah tersebut dalam kemasan hanya sekadar untuk memenuhi persyaratan yang ditentukan undang-undang. Tentunya jauh lebih baik bila pencantuman bahan baku tidak hanya untuk memenuhi apa yang telah disyaratkan peraturan perundang-undangan, tetapi juga bertujuan memberikan informasi sejauh mana bahan-bahan tersebut aman dikonsumsi. Namun, bila hal tersebut belum memungkinkan, konsumen harus diberdayakan untuk dapat menggali informasi sejauh mana kadar bahan-bahan pengawet tersebut aman dikonsumsi.

Persoalan lain dalam konteks perlindungan konsumen, diyakini sebagian besar konsumen tidak mengetahui bahwa saat mengonsumsi makanan dalam kemasan, saat itu pula konsumen mengonsumsi bahan pengawet. Padahal, dari apa yang dipaparkan oleh beberapa media cetak dan elektronik, patut diduga bahwa secara kumulatif konsumsi makanan dalam kemasan yang mengandung bahan pengawet dapat mengakibatkan berbagai jenis penyakit yang tentu tidak diinginkan.

Konsumen pada umumnya tidak mengetahui ambang batas bahan pengawet yang diperkenankan dikonsumsi tubuh manusia. Saat ini sebagian konsumen baru mengetahui makanan atau minuman dalam kemasan tidak menggunakan bahan pengawet bila pelaku usaha secara tegas menyatakan produknya tidak menggunakan bahan pengawet. Akan tetapi, konsumen tidak dapat memastikan apakah makanan atau minuman yang akan dikonsumsi tersebut benar-benar tidak menggunakan bahan pengawet, atau benar-benar aman dikonsumsi.

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa para pelaku yang terlibat dalam perlindungan konsumen meliputi konsumen, pemerintah, dan pelaku usaha. Namun, bila kita menelaah Pasal 3 UU No 8/1999 seperti telah diuraikan sebelumnya, tanggung jawab pemerintah dan pelaku usaha jauh lebih dominan dibandingkan dengan konsumen.

Regulasi yang dihasilkan pemerintah yang sekaligus berperan sebagai konsumen, dan pengawasan pelaku usaha yang sifatnya administratif dan non-administratif yang dijalankan pemerintah, tentu dan seharusnya berdampak pada keberpihakan pemerintah kepada konsumen secara keseluruhan.

Di sisi lain, esensi pelaku usaha yang juga berperan sebagai konsumen seharusnya membawa konsekuensi pada tanggung jawab produk (product liability) dan tanggung jawab profesional (professional liability) atas produk dan jasa yang dihasilkan pelaku usaha.

Bilamana dua pelaku, pemerintah dan pelaku usaha, memahami esensi tugas pokok masing-masing, seharusnya konsumen merasa aman mengonsumsi dan menggunakan produk/jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha, termasuk di dalam permen dan kosmetik.

Tidak ada komentar: