Sabtu, 27 September 2008
Selasa, 15 Juli 2008
Minggu, 22 Juni 2008
PATEN
Paten
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Menurut undang-undang nomor 14 tahun 2001 tentang Paten, Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. (UU 14 tahun 2001, ps. 1, ay. 1)
Sementara itu, arti Invensi dan Inventor (yang terdapat dalam pengertian di atas, juga menurut undang-undang tersebut, adalah):
- Invensi adalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. (UU 14 tahun 2001, ps. 1, ay. 2)
- Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan Invensi. (UU 14 tahun 2001, ps. 1, ay. 3)
Kata paten, berasal dari bahasa inggris patent, yang awalnya berasal dari kata patere yang berarti membuka diri (untuk pemeriksaan publik), dan juga berasal dari istilah letters patent, yaitu surat keputusan yang dikeluarkan kerajaan yang memberikan hak eksklusif kepada individu dan pelaku bisnis tertentu. Dari definisi kata paten itu sendiri, konsep paten mendorong inventor untuk membuka pengetahuan demi kemajuan masyarakat dan sebagai gantinya, inventor mendapat hak eksklusif selama periode tertentu. Mengingat pemberian paten tidak mengatur siapa yang harus melakukan invensi yang dipatenkan, sistem paten tidak dianggap sebagai hak monopoli.
PATEN
Paten
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Menurut undang-undang nomor 14 tahun 2001 tentang Paten, Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. (UU 14 tahun 2001, ps. 1, ay. 1)
Sementara itu, arti Invensi dan Inventor (yang terdapat dalam pengertian di atas, juga menurut undang-undang tersebut, adalah):
- Invensi adalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. (UU 14 tahun 2001, ps. 1, ay. 2)
- Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan Invensi. (UU 14 tahun 2001, ps. 1, ay. 3)
Kata paten, berasal dari bahasa inggris patent, yang awalnya berasal dari kata patere yang berarti membuka diri (untuk pemeriksaan publik), dan juga berasal dari istilah letters patent, yaitu surat keputusan yang dikeluarkan kerajaan yang memberikan hak eksklusif kepada individu dan pelaku bisnis tertentu. Dari definisi kata paten itu sendiri, konsep paten mendorong inventor untuk membuka pengetahuan demi kemajuan masyarakat dan sebagai gantinya, inventor mendapat hak eksklusif selama periode tertentu. Mengingat pemberian paten tidak mengatur siapa yang harus melakukan invensi yang dipatenkan, sistem paten tidak dianggap sebagai hak monopoli.
UNDANG UNDANG KOSMETIK
Perlindungan Konsumen
Keamanan Permen dan Kosmetik
Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan atau BBPOM mengadakan operasi permen berformalin. Dalam kurun waktu enam bulan terakhir, berita tentang perlindungan konsumen terus bermunculan. Sebab, kasus mi berformalin sampai dengan tidak dicantumkannya pengawet dalam label minuman dalam kemasan merupakan rentetan kejadian pelanggaran akan hak dasar konsumen yang sebenarnya dilindungi undang-undang.
Tidak bisa dibayangkan risiko yang ditanggung konsumen setelah mengonsumsi permen yang diduga mengandung formalin. Bayangan lebih menakutkan muncul apabila kita mengetahui bahwa barang konsumsi dengan spesifikasi permen tidak hanya dikonsumsi oleh orang dewasa, tetapi juga anak-anak.
Sejak tahun 1999 Indonesia telah memiliki undang-undang yang memberikan perlindungan kepada konsumen, yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang pada April 2007 genap berusia delapan tahun.
Hasil konkret dari pemberlakuan undang-undang tersebut, misalnya, konsumen mulai terbiasa memerhatikan batas waktu kedaluwarsa sebelum membeli sebuah produk. Konsumen juga mulai membiasakan diri membaca keterangan tentang rincian bahan baku yang terkandung di dalam barang yang dibelinya.
Dalam bidang perlindungan konsumen, secara umum tugas pemerintah tercantum dalam Pasal 3 UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan menghindarkan diri dari ekses negatif pemakaian barang dan atau jasa.
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
6. Meningkatkan kualitas barang dan atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Tugas pemerintah yang relatif sulit diwujudkan berkaitan dengan yang tercantum dalam huruf d Pasal 3 UU No 8/1999, di mana di dalamnya tersirat tugas menyinergikan undang-undang yang satu dengan yang lain, khususnya UU No 8/1999 dengan undang-undang lain. Sebab, penegakan hukum UU Perlindungan Konsumen dapat terlaksana apabila penegakan dilakukan tidak hanya dalam konteks penegakan undang-undang tersebut, tetapi juga dalam konteks penegakan undang-undang yang lain. Masalah perlindungan
Secara empirik, sering kali terjadi pelanggaran yang sifatnya mendasar, seperti pelaku usaha menjual barang kedaluwarsa. Namun, tidak ada tindakan hukum karena kurangnya kuantitas dan kualitas SDM yang berwenang. Kurangnya kuantitas SDM berdampak pada kurangnya kontrol terhadap pelaku usaha. Adapun kurangnya kualitas SDM akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran oleh pelaku usaha tanpa disertai tindakan hukum atas apa yang dilakukan pelaku usaha tersebut oleh pihak berwenang.
Menilik pelaku penegakan hukum lainnya, yaitu pelaku usaha, mereka dituntut lebih profesional dan bertanggung jawab dengan tidak hanya mengedepankan keuntungan semata, tetapi juga kualitas produk yang tentunya aman bagi konsumen.
Di sisi lain, masyarakat atau konsumen pada umumnya dituntut semakin kritis terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha. Terhadap produk-produk barang, konsumen hendaknya selalu teliti dalam membeli dengan memerhatikan masa waktu kedaluwarsa, bahan baku barang tersebut, dan kandungan peng-awet yang terdapat di dalamnya, seperti natrium benzoat (na benzoat) atau kalium zorbat (K zorbat).
Na benzoat dan K zorbat adalah dua nama pengawet makanan yang sering kali kita baca dan temukan dalam kemasan makanan atau minuman. Namun, pada umumnya pencantuman istilah tersebut dalam kemasan hanya sekadar untuk memenuhi persyaratan yang ditentukan undang-undang. Tentunya jauh lebih baik bila pencantuman bahan baku tidak hanya untuk memenuhi apa yang telah disyaratkan peraturan perundang-undangan, tetapi juga bertujuan memberikan informasi sejauh mana bahan-bahan tersebut aman dikonsumsi. Namun, bila hal tersebut belum memungkinkan, konsumen harus diberdayakan untuk dapat menggali informasi sejauh mana kadar bahan-bahan pengawet tersebut aman dikonsumsi.
Persoalan lain dalam konteks perlindungan konsumen, diyakini sebagian besar konsumen tidak mengetahui bahwa saat mengonsumsi makanan dalam kemasan, saat itu pula konsumen mengonsumsi bahan pengawet. Padahal, dari apa yang dipaparkan oleh beberapa media cetak dan elektronik, patut diduga bahwa secara kumulatif konsumsi makanan dalam kemasan yang mengandung bahan pengawet dapat mengakibatkan berbagai jenis penyakit yang tentu tidak diinginkan.
Konsumen pada umumnya tidak mengetahui ambang batas bahan pengawet yang diperkenankan dikonsumsi tubuh manusia. Saat ini sebagian konsumen baru mengetahui makanan atau minuman dalam kemasan tidak menggunakan bahan pengawet bila pelaku usaha secara tegas menyatakan produknya tidak menggunakan bahan pengawet. Akan tetapi, konsumen tidak dapat memastikan apakah makanan atau minuman yang akan dikonsumsi tersebut benar-benar tidak menggunakan bahan pengawet, atau benar-benar aman dikonsumsi.
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa para pelaku yang terlibat dalam perlindungan konsumen meliputi konsumen, pemerintah, dan pelaku usaha. Namun, bila kita menelaah Pasal 3 UU No 8/1999 seperti telah diuraikan sebelumnya, tanggung jawab pemerintah dan pelaku usaha jauh lebih dominan dibandingkan dengan konsumen.
Regulasi yang dihasilkan pemerintah yang sekaligus berperan sebagai konsumen, dan pengawasan pelaku usaha yang sifatnya administratif dan non-administratif yang dijalankan pemerintah, tentu dan seharusnya berdampak pada keberpihakan pemerintah kepada konsumen secara keseluruhan.
Di sisi lain, esensi pelaku usaha yang juga berperan sebagai konsumen seharusnya membawa konsekuensi pada tanggung jawab produk (product liability) dan tanggung jawab profesional (professional liability) atas produk dan jasa yang dihasilkan pelaku usaha.
Bilamana dua pelaku, pemerintah dan pelaku usaha, memahami esensi tugas pokok masing-masing, seharusnya konsumen merasa aman mengonsumsi dan menggunakan produk/jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha, termasuk di dalam permen dan kosmetik.
UNDANG UNDANG KONSUMEN
UU RI No.8 Thn.1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Selasa, 13 April 2004 | 11:46 WIB
TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN
DENGAN RRAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. Bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu
masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual dalam era demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945;
b. bahwa pembangunan perekonomiian nasional pada era globalisasi harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan / atau jasa yang memiliki
kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas
barang dan/atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa
mengakibatkan kerugian konsumen;
c. bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan/atau jasa yang diperolehnya dipasar;
d. bahwa untuk ,meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu
meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap usaha yang bertangguung jawab;
e. bahwa ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di
Indonesia belum memadai;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas diperlukan perangkat
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan keseimbangan
perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga
tercipta perekonomian yang sehat;
g. bahwa untuk itu perlu dibentukk Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen;
Mengingat :
Pasal5 Ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 27, dan pasal 33 Undang-undang Dasar 19
TUJUAN UNDANG UNDANG NARKOTIK
Pasal 2
(1) Ruang lingkup pengaturan narkotika dalam Undang-undang ini adalah segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan narkotika.
(2) Narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digolongkan menjadi:
a. Narkotika Golongan I;
b. Narkotika Golongan II; dan
c. Narkotika Golongan III.
(3) Penggolongajustifyn narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) untuk pertama kalinya ditetapkan sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang-undang ini.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan penggolongan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Pasal 3
Pengaturan narkotika bertujuan untuk:
a. menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan;
b. mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika; dan
c. memberantas peredaran gelap narkotika.
Pasal 4
Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan.
Pasal 5
Narkotika Golongan I hanya dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan dilarang digunakan untuk kepentingan lainnya.
UNDANG UNDANG NARKOTIK
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
2. Produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, menghasilkan, mengemas, dan/ atau mengubah bentuk narkotika termasuk mengekstraksi, mengkonversi, atau merakit narkotika untuk memproduksi obat.
3. Impor adalah kegiatan memasukkan narkotika ke dalam Daerah Pabean.
4. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan narkotika dari Daerah Pabean.
5. Peredaran gelap narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak dan melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana narkotika.
6. Surat Persetujuan Impor adalah surat persetujuan Menteri Kesehatan untuk mengimpor narkotika.
7. Surat Persetujuan Ekspor adalah surat persetujuan Menteri Kesehatan untuk mengekspor narkotika.
8. Pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan memindahkan narkotika dari satu tempat ke tempat lain, dengan cara moda, atau sarana angkutan apapun.
9. Pedagang besar farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan penyaluran sediaan farmasi termasuk narkotika dan alat kesehatan.
10. Pabrik obat adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan produksi serta penyaluran obat dan bahan obat, termasuk narkotika.
11. Transito narkotika adalah pengangkutan narkotika dari suatu negara ke negara lain dengan melalui dan singgah di Wilayah Negara Republik Indonesia yang terdapat Kantor Pabean dengan satu atau tanpa berganti sarana angkutan.
12. Pecandu adalah orang yang menggunakan menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
13. Ketergantungan narkotika adalah gejala dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus menerus, toleransi dan gejala putus narkotika apabila penggunaan dihentikan.
14. Penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter.
15. Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotik.
16.Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu baik fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
17. Permufakatan jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih dengan maksud bersepakat untuk melakukan tindak pidana narkotika.
18. Penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan dan/atau penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dengan cara melakukan penyadapan pembicaraan melalui telepon dan atau alat komunikasi elektronika lainnya.
19. Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan.
PENGGADAAN NARKOTIK
Bagian Pertama
Rencana Kebutuhan Tahunan
Pasal 6
(1) Menteri Kesehatan mengupayakan tersedianya narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
(2) Untuk keperluan tersedianya narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri Kesehatan menyusun rencana kebutuhan narkotika setiap tahun.
(3) Rencana kebutuhan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menjadi pedoman pengadaan, pengendalian, dan pengawasan narkotika secara nasional.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kebutuhan tahunan narkotika diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Pasal 7
(1) Narkotika untuk kebutuhan dalam negeri diperoleh dari impor, produksi dalam negeri dan/atau sumber lain dengan berpedoman pada rencana kebutuhan tahunan narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2).
(2) Narkotika yang diperoleh dari sumber lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di bawah pengendalian, pengawasan, dan tanggung jawab Menteri Kesehatan.
Bagian Kedua
Produksi
Pasal 8
(1) Menteri Kesehatan memberi izin khusus untuk memproduksi narkotika kepada pabrik obat yang telah memiliki izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Menteri Kesehatan melakukan pengendalian tersendiri dalam pelaksanaan pengawasan terhadap proses produksi, bahan baku narkotika, dan hasil akhir dari proses narkotika.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Pasal 9
(1) Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan dilakukan dengan pengawasan yang ketat dari Menteri Kesehatan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan produksi dan/ataupenggunaan dalam proses produksi dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Bagian Ketiga
Narkotika untuk Ilmu Pengetahuan
Pasal 10
(1) Lembaga ilmu pengetahuan yang berupa lembaga pendidikan, pelatihan, ketrampilan, dan penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun Swasta, yang secara khusus atau yang salah satu fungsinya melakukan kegiatan percobaan, penelitian dan pengembangan, dapat memperoleh, menenm, menyimpan, dan menggunakan narkotika dalam rangka kepentingan ilmu pengetahuan setelah mendapat izin dari Menteri Kesehatan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat dan tata cara untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Bagian Keempat
Penyimpangan dan Pelaporan
Pasal 11
(1) Narkotika yang berada dalam penguasaan importir, eksportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan, wajib disimpan secara khusus.
(2) Importir, eksportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan, wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran narkotika yang ada dalam penguasaaanya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyimpanan secara khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan jangka waktu, bentuk, isi, dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan/atau ketentuan mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dikenakan sanksi administratif oleh Menteri Kesehatan berupa:
a. teguran;
b. peringatan;
c. denda administratif;
d. penghentian sementara kegiatan; atau
e. pencabutan izin.
PEMUSNAHAAN NARKOTIK
Pasal 60
Pemusnahan narkotika dilakukan dalam hal:
a. diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi;
b. kadaluarsa;
c. tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau berkaitan untuk pengembangan ilmu pengetahuan; atau
d. berkaitan dengan tindak pidana.
Pasal 61
(1) Pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf a, b, dan c dilaksanakan oleh Pemerintah, orang, atau badan yang bertanggung jawab atas produksi dan/atau peredaran narkotika, sarana kesehatan tertentu, serta lembaga ilmu pengetahuan tertentu dengan disaksikan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.
(2) Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
a. nama, jenis, sifat, dan jumlah;
b. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan pemusnahan; dan
c. tanda tangan dan identitas lengkap pelaksanan dan pejabat yang memyaksikan pemusnahan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Pasal 62
(1) Pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf d dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. dalam hal pemusnahan narkotika dilaksanakan masih dalam tahap penyelidikan dan penyidikan, pemusnahan dilakukan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan disaksikan oleh pejabat yang mewakili Kejaksaan, Departemen Kesehatan, dan Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang menguasai barang sitaan;
b. dalam hal pemusnahan narkotika dilaksanakan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, pemusnahan dilakukan oleh Pejabat Kejaksaan dan disaksikan oleh pejabat yang mewakili Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Departemen Kesehatan.
(2) Apabila dalam keadaan tertentu pejabat yang mewakili instansi sebagaimana dimaksuddalam ayat (1) huruf a tidak dapat dipenuhi, maka pemusnahan narkotika dilakukan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dengan disaksikan pejabat dari tempat kejadian perkara tindak pidana tersebut.
(3) Pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
a. nama, jenis, sifat, dan jumlah;
b. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan pemusnahan;
c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai narkotika; dan
d. tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan pejabat yang menyaksikan pemusnahan.
(4) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pemusnahan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku bagi pemusnahan narkotika, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
EKSPOR IMPOR NARKOTIK
Bagian Pertama
Surat Persetujuan Impor dan Surat Persetujuan Ekspor
Pasal 12
(1) Menteri Kesehatan memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan pedagang besar farmasi milik negara yang telah memiliki izin sebagai importir sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melaksanakan impor narkotika.
(2) Dalam keadaan tertentu, Menteri Kesehatan dapat memberi izin kepada perusahaan lain dari perusahaan milik negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang memiliki izin sebagai importir sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melaksanakan impor narkotika.
Pasal 13
(1) Importir narkotika harus memiliki surat persetujuan impor untuk setiap kali melakukan impor narkotika dari Menteri Kesehatan.
(2) Surat Persetujuan impor narkotika Golongan I dalam jumlah yang sangat terbatas hanya dapat diberikan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.
(3) Surat persetujuan impor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada pemerintah negara pengekspor.
Pasal 14
Pelaksanaan impor narkotika dilakukan atas dasar persetujuan pemerintah negara pengekspor dan persetujuan tersebut dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor.
Pasal 15
(1) Menteri Kesehatan memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan pedagang besar farmasi milik negara yang telah memiliki izin sebagai eksportir sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melaksanakan ekspor narkotika.
(2) Dalam keadaan tertentu, Menteri Kesehatan dapat memberi izin kepada perusahaan lain dari perusahaan milik negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang memiliki izin sebagai eksportir sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melaksanakan ekspor narkotika.
Pasal 16
(1) Eksportir narkotika harus memiliki surat persetujuan ekspor untuk setiap kali melakukan ekspor narkotika dari Menteri Kesehatan.
(2) Untuk memperoleh surat persetujuan ekspor narkotika harus dilampiri dengan surat persetujuan dari negara pengimpor.
Pasal 17
Pelaksanaan ekspor narkotika dilakukan atas dasar persetujuan pemerintah negara pengimpor dan persetujuan tersebut dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengimpor.
Pasal 18
Impor dan ekspor narkotika hanya dilakukan melalui kawasan pabean tertentu yang dibuka untuk perdagangan luar negeri.
Pasal 19
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara memperoleh surat persetujuan impor dan surat persetujuan ekspor narkotika diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Bagian Kedua
Pengangkutan
Pasal 20
Ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pengangkutan barang, tetap berlaku bagi pengangkutan narkotika kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini atau diatur kemudian berdasarkan ketentuan undang-undang ini.
Pasal 21
(1) Setiap pengangkutan impor narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen persetujuan ekspor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor dan surat persetujuan impor narkotika yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan.
(2) Setiap pengangkutan ekspor narkotika wajib dilengkapi dengan surat persetujuan ekspor narkotika yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengimpor.
Pasal 22
Penanggung jawab pengangkut impor narkotika yang memasuki Wilayah Negara Republik Indonesia wajib membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan surat persetujuan impor narkotika dari Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan ekspor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor.
Pasal 23
(1) Eksportir narkotika wajib memberikan surat persetujuan ekspor narkotika dari Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengimpor kepada orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor.
(2) Orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor wajib memberikan surat persetujuan ekspor narkotika dari Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengimpor kepada penanggung jawab pengangkut.
(3) Penanggung jawab pengangkut ekspor narkotika wajib membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan surat persetujuan ekspor narkotika dari Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengimpor.
Pasal 24
(1) Narkotika yang diangkut harus disimpan pada kesempatan pertama dalam kemasan khusus atau di tempat yang aman di dalam kapal dengan disegel oleh nakhoda dengan disaksikan oleh pengirim.
(2) Nakhoda membuat berita acara tentang muatan narkotika yang diangkut.
(3) Nakhoda, dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam setelah tiba di pelabuhan tujuan, wajib melaporkan narkotika yang dimuat dalam kapalnya kepada Kepala Kantor Pabean setempat.
(4) Pembongkaran muatan narkotika dilakukan dalam kesempatan pertama oleh nakhoda dengan disaksikan oleh Pejabat Bea dan Cukai.
(5) Nakhoda yang mengetahui adanya narkotika di dalam kapal secara tanpa hak, wajib membuat berita acara, melakukan tindakan-tindakan pengamanan, dan pada persinggahan pelabuhan pertama segera melaporkan dan menyerahkan narkotika tersebut kepada pihak yang berwenang.
Pasal 25
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 berlaku pula bagi kapten penerbang untuk pengangkutan udara.
Bagian Ketiga
Transito
Pasal 26
(1) Transito narkotika harus dilengkapi dengan dokumen persetujuan ekspor narkotika yang sah dari pemerintah negara pengekspor dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah dari pemerintah negara pengimpor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor dan pengimpor.
(2) Dokumen persetujuan ekspor narkotika dari pemerintah negara pengekspor dan dokumen persetujuan impor narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat keterangan tentang:
a. nama dan alat pengekspor dan pengimpor narkotika;
b. jenis, bentuk, dan jumlah narkotika; dan
c. negara tujuan ekspor narkotika.
Pasal 27
Setiap perubahan negara tujuan ekspor narkotika pada transito narkotika hanya dapat dilakukan setelah adanya persetujuan dari:
a. pemerintah negara pengekspor narkotika;
b. pemerintah negara pengimpor atau tujuan semula ekspor narkotika; dan
c. pemerintah negara tujuan perubahan ekspor narkotika.
Pasal 28
Pengemasan kembali narkotika pada transito narkotika, hanya dapat dilakukan terhadap kemasan asli narkotika yang mengalami kerusakan dan harus dilakukan di bawah tanggung jawab pengawasan Pejabat Bea dan Cukai.
Pasal 29
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan transito narkotika ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Pemeriksaan
Pasal 30
Pemerintah melakukan pemeriksaan atas kelengkapandokumen impor, ekspor, dan/atau transito narkotika.
Pasal 31
(1) Importir narkotika memeriksa narkotika yang diimpornya dan wajib melaporkan hasilnya kepada Menteri Kesehatan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya impor narkotika di perusahaan.
(2) Berdasarkan hasil laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri Kesehatan menyampaikan hasil penerimaan impor narkotika kepada pemerintah negara pengekspor.
isfi
|