Minggu, 22 Juni 2008

PATEN

Paten

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.


Menurut undang-undang nomor 14 tahun 2001 tentang Paten, Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. (UU 14 tahun 2001, ps. 1, ay. 1)

Sementara itu, arti Invensi dan Inventor (yang terdapat dalam pengertian di atas, juga menurut undang-undang tersebut, adalah):

  • Invensi adalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. (UU 14 tahun 2001, ps. 1, ay. 2)
  • Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan Invensi. (UU 14 tahun 2001, ps. 1, ay. 3)

Kata paten, berasal dari bahasa inggris patent, yang awalnya berasal dari kata patere yang berarti membuka diri (untuk pemeriksaan publik), dan juga berasal dari istilah letters patent, yaitu surat keputusan yang dikeluarkan kerajaan yang memberikan hak eksklusif kepada individu dan pelaku bisnis tertentu. Dari definisi kata paten itu sendiri, konsep paten mendorong inventor untuk membuka pengetahuan demi kemajuan masyarakat dan sebagai gantinya, inventor mendapat hak eksklusif selama periode tertentu. Mengingat pemberian paten tidak mengatur siapa yang harus melakukan invensi yang dipatenkan, sistem paten tidak dianggap sebagai hak monopoli.

PATEN

Paten

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.


Menurut undang-undang nomor 14 tahun 2001 tentang Paten, Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. (UU 14 tahun 2001, ps. 1, ay. 1)

Sementara itu, arti Invensi dan Inventor (yang terdapat dalam pengertian di atas, juga menurut undang-undang tersebut, adalah):

  • Invensi adalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. (UU 14 tahun 2001, ps. 1, ay. 2)
  • Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan Invensi. (UU 14 tahun 2001, ps. 1, ay. 3)

Kata paten, berasal dari bahasa inggris patent, yang awalnya berasal dari kata patere yang berarti membuka diri (untuk pemeriksaan publik), dan juga berasal dari istilah letters patent, yaitu surat keputusan yang dikeluarkan kerajaan yang memberikan hak eksklusif kepada individu dan pelaku bisnis tertentu. Dari definisi kata paten itu sendiri, konsep paten mendorong inventor untuk membuka pengetahuan demi kemajuan masyarakat dan sebagai gantinya, inventor mendapat hak eksklusif selama periode tertentu. Mengingat pemberian paten tidak mengatur siapa yang harus melakukan invensi yang dipatenkan, sistem paten tidak dianggap sebagai hak monopoli.

UNDANG UNDANG KOSMETIK

Perlindungan Konsumen
Keamanan Permen dan Kosmetik

Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan atau BBPOM mengadakan operasi permen berformalin. Dalam kurun waktu enam bulan terakhir, berita tentang perlindungan konsumen terus bermunculan. Sebab, kasus mi berformalin sampai dengan tidak dicantumkannya pengawet dalam label minuman dalam kemasan merupakan rentetan kejadian pelanggaran akan hak dasar konsumen yang sebenarnya dilindungi undang-undang.

Tidak bisa dibayangkan risiko yang ditanggung konsumen setelah mengonsumsi permen yang diduga mengandung formalin. Bayangan lebih menakutkan muncul apabila kita mengetahui bahwa barang konsumsi dengan spesifikasi permen tidak hanya dikonsumsi oleh orang dewasa, tetapi juga anak-anak.

Sejak tahun 1999 Indonesia telah memiliki undang-undang yang memberikan perlindungan kepada konsumen, yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang pada April 2007 genap berusia delapan tahun.

Hasil konkret dari pemberlakuan undang-undang tersebut, misalnya, konsumen mulai terbiasa memerhatikan batas waktu kedaluwarsa sebelum membeli sebuah produk. Konsumen juga mulai membiasakan diri membaca keterangan tentang rincian bahan baku yang terkandung di dalam barang yang dibelinya.

Dalam bidang perlindungan konsumen, secara umum tugas pemerintah tercantum dalam Pasal 3 UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan menghindarkan diri dari ekses negatif pemakaian barang dan atau jasa.

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.

6. Meningkatkan kualitas barang dan atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Tugas pemerintah yang relatif sulit diwujudkan berkaitan dengan yang tercantum dalam huruf d Pasal 3 UU No 8/1999, di mana di dalamnya tersirat tugas menyinergikan undang-undang yang satu dengan yang lain, khususnya UU No 8/1999 dengan undang-undang lain. Sebab, penegakan hukum UU Perlindungan Konsumen dapat terlaksana apabila penegakan dilakukan tidak hanya dalam konteks penegakan undang-undang tersebut, tetapi juga dalam konteks penegakan undang-undang yang lain. Masalah perlindungan

Secara empirik, sering kali terjadi pelanggaran yang sifatnya mendasar, seperti pelaku usaha menjual barang kedaluwarsa. Namun, tidak ada tindakan hukum karena kurangnya kuantitas dan kualitas SDM yang berwenang. Kurangnya kuantitas SDM berdampak pada kurangnya kontrol terhadap pelaku usaha. Adapun kurangnya kualitas SDM akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran oleh pelaku usaha tanpa disertai tindakan hukum atas apa yang dilakukan pelaku usaha tersebut oleh pihak berwenang.

Menilik pelaku penegakan hukum lainnya, yaitu pelaku usaha, mereka dituntut lebih profesional dan bertanggung jawab dengan tidak hanya mengedepankan keuntungan semata, tetapi juga kualitas produk yang tentunya aman bagi konsumen.

Di sisi lain, masyarakat atau konsumen pada umumnya dituntut semakin kritis terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha. Terhadap produk-produk barang, konsumen hendaknya selalu teliti dalam membeli dengan memerhatikan masa waktu kedaluwarsa, bahan baku barang tersebut, dan kandungan peng-awet yang terdapat di dalamnya, seperti natrium benzoat (na benzoat) atau kalium zorbat (K zorbat).

Na benzoat dan K zorbat adalah dua nama pengawet makanan yang sering kali kita baca dan temukan dalam kemasan makanan atau minuman. Namun, pada umumnya pencantuman istilah tersebut dalam kemasan hanya sekadar untuk memenuhi persyaratan yang ditentukan undang-undang. Tentunya jauh lebih baik bila pencantuman bahan baku tidak hanya untuk memenuhi apa yang telah disyaratkan peraturan perundang-undangan, tetapi juga bertujuan memberikan informasi sejauh mana bahan-bahan tersebut aman dikonsumsi. Namun, bila hal tersebut belum memungkinkan, konsumen harus diberdayakan untuk dapat menggali informasi sejauh mana kadar bahan-bahan pengawet tersebut aman dikonsumsi.

Persoalan lain dalam konteks perlindungan konsumen, diyakini sebagian besar konsumen tidak mengetahui bahwa saat mengonsumsi makanan dalam kemasan, saat itu pula konsumen mengonsumsi bahan pengawet. Padahal, dari apa yang dipaparkan oleh beberapa media cetak dan elektronik, patut diduga bahwa secara kumulatif konsumsi makanan dalam kemasan yang mengandung bahan pengawet dapat mengakibatkan berbagai jenis penyakit yang tentu tidak diinginkan.

Konsumen pada umumnya tidak mengetahui ambang batas bahan pengawet yang diperkenankan dikonsumsi tubuh manusia. Saat ini sebagian konsumen baru mengetahui makanan atau minuman dalam kemasan tidak menggunakan bahan pengawet bila pelaku usaha secara tegas menyatakan produknya tidak menggunakan bahan pengawet. Akan tetapi, konsumen tidak dapat memastikan apakah makanan atau minuman yang akan dikonsumsi tersebut benar-benar tidak menggunakan bahan pengawet, atau benar-benar aman dikonsumsi.

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa para pelaku yang terlibat dalam perlindungan konsumen meliputi konsumen, pemerintah, dan pelaku usaha. Namun, bila kita menelaah Pasal 3 UU No 8/1999 seperti telah diuraikan sebelumnya, tanggung jawab pemerintah dan pelaku usaha jauh lebih dominan dibandingkan dengan konsumen.

Regulasi yang dihasilkan pemerintah yang sekaligus berperan sebagai konsumen, dan pengawasan pelaku usaha yang sifatnya administratif dan non-administratif yang dijalankan pemerintah, tentu dan seharusnya berdampak pada keberpihakan pemerintah kepada konsumen secara keseluruhan.

Di sisi lain, esensi pelaku usaha yang juga berperan sebagai konsumen seharusnya membawa konsekuensi pada tanggung jawab produk (product liability) dan tanggung jawab profesional (professional liability) atas produk dan jasa yang dihasilkan pelaku usaha.

Bilamana dua pelaku, pemerintah dan pelaku usaha, memahami esensi tugas pokok masing-masing, seharusnya konsumen merasa aman mengonsumsi dan menggunakan produk/jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha, termasuk di dalam permen dan kosmetik.

UNDANG UNDANG KONSUMEN

UU RI No.8 Thn.1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Selasa, 13 April 2004 | 11:46 WIB

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN

DENGAN RRAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :


a. Bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu
masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual dalam era demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945;

b. bahwa pembangunan perekonomiian nasional pada era globalisasi harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan / atau jasa yang memiliki
kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas
barang dan/atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa
mengakibatkan kerugian konsumen;

c. bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan/atau jasa yang diperolehnya dipasar;

d. bahwa untuk ,meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu
meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap usaha yang bertangguung jawab;

e. bahwa ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di
Indonesia belum memadai;

f. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas diperlukan perangkat
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan keseimbangan
perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga
tercipta perekonomian yang sehat;

g. bahwa untuk itu perlu dibentukk Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen;


Mengingat :

Pasal5 Ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 27, dan pasal 33 Undang-undang Dasar 19

TUJUAN UNDANG UNDANG NARKOTIK

Pasal 2

(1) Ruang lingkup pengaturan narkotika dalam Undang-undang ini adalah segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan narkotika.

(2) Narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digolongkan menjadi:

a. Narkotika Golongan I;

b. Narkotika Golongan II; dan

c. Narkotika Golongan III.

(3) Penggolongajustifyn narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) untuk pertama kalinya ditetapkan sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang-undang ini.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan penggolongan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

Pasal 3

Pengaturan narkotika bertujuan untuk:

a. menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan;

b. mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika; dan

c. memberantas peredaran gelap narkotika.

Pasal 4

Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan.

Pasal 5

Narkotika Golongan I hanya dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan dilarang digunakan untuk kepentingan lainnya.



UNDANG UNDANG NARKOTIK

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-undang ini atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

2. Produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, menghasilkan, mengemas, dan/ atau mengubah bentuk narkotika termasuk mengekstraksi, mengkonversi, atau merakit narkotika untuk memproduksi obat.

3. Impor adalah kegiatan memasukkan narkotika ke dalam Daerah Pabean.

4. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan narkotika dari Daerah Pabean.

5. Peredaran gelap narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak dan melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana narkotika.

6. Surat Persetujuan Impor adalah surat persetujuan Menteri Kesehatan untuk mengimpor narkotika.

7. Surat Persetujuan Ekspor adalah surat persetujuan Menteri Kesehatan untuk mengekspor narkotika.

8. Pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan memindahkan narkotika dari satu tempat ke tempat lain, dengan cara moda, atau sarana angkutan apapun.

9. Pedagang besar farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan penyaluran sediaan farmasi termasuk narkotika dan alat kesehatan.

10. Pabrik obat adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan produksi serta penyaluran obat dan bahan obat, termasuk narkotika.

11. Transito narkotika adalah pengangkutan narkotika dari suatu negara ke negara lain dengan melalui dan singgah di Wilayah Negara Republik Indonesia yang terdapat Kantor Pabean dengan satu atau tanpa berganti sarana angkutan.

12. Pecandu adalah orang yang menggunakan menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis.

13. Ketergantungan narkotika adalah gejala dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus menerus, toleransi dan gejala putus narkotika apabila penggunaan dihentikan.

14. Penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter.

15. Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotik.

16.Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu baik fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.

17. Permufakatan jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih dengan maksud bersepakat untuk melakukan tindak pidana narkotika.

18. Penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan dan/atau penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dengan cara melakukan penyadapan pembicaraan melalui telepon dan atau alat komunikasi elektronika lainnya.

19. Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan.



PENGGADAAN NARKOTIK

Bagian Pertama

Rencana Kebutuhan Tahunan

Pasal 6

(1) Menteri Kesehatan mengupayakan tersedianya narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

(2) Untuk keperluan tersedianya narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri Kesehatan menyusun rencana kebutuhan narkotika setiap tahun.

(3) Rencana kebutuhan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menjadi pedoman pengadaan, pengendalian, dan pengawasan narkotika secara nasional.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kebutuhan tahunan narkotika diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

Pasal 7

(1) Narkotika untuk kebutuhan dalam negeri diperoleh dari impor, produksi dalam negeri dan/atau sumber lain dengan berpedoman pada rencana kebutuhan tahunan narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2).

(2) Narkotika yang diperoleh dari sumber lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di bawah pengendalian, pengawasan, dan tanggung jawab Menteri Kesehatan.

Bagian Kedua

Produksi

Pasal 8

(1) Menteri Kesehatan memberi izin khusus untuk memproduksi narkotika kepada pabrik obat yang telah memiliki izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Menteri Kesehatan melakukan pengendalian tersendiri dalam pelaksanaan pengawasan terhadap proses produksi, bahan baku narkotika, dan hasil akhir dari proses narkotika.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

Pasal 9

(1) Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan dilakukan dengan pengawasan yang ketat dari Menteri Kesehatan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan produksi dan/ataupenggunaan dalam proses produksi dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

Bagian Ketiga

Narkotika untuk Ilmu Pengetahuan

Pasal 10

(1) Lembaga ilmu pengetahuan yang berupa lembaga pendidikan, pelatihan, ketrampilan, dan penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun Swasta, yang secara khusus atau yang salah satu fungsinya melakukan kegiatan percobaan, penelitian dan pengembangan, dapat memperoleh, menenm, menyimpan, dan menggunakan narkotika dalam rangka kepentingan ilmu pengetahuan setelah mendapat izin dari Menteri Kesehatan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat dan tata cara untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

Bagian Keempat

Penyimpangan dan Pelaporan

Pasal 11

(1) Narkotika yang berada dalam penguasaan importir, eksportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan, wajib disimpan secara khusus.

(2) Importir, eksportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan, wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran narkotika yang ada dalam penguasaaanya.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyimpanan secara khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan jangka waktu, bentuk, isi, dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

(4) Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan/atau ketentuan mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dikenakan sanksi administratif oleh Menteri Kesehatan berupa:

a. teguran;

b. peringatan;

c. denda administratif;

d. penghentian sementara kegiatan; atau

e. pencabutan izin.



PEMUSNAHAAN NARKOTIK

Pasal 60

Pemusnahan narkotika dilakukan dalam hal:

a. diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi;

b. kadaluarsa;

c. tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau berkaitan untuk pengembangan ilmu pengetahuan; atau

d. berkaitan dengan tindak pidana.

Pasal 61

(1) Pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf a, b, dan c dilaksanakan oleh Pemerintah, orang, atau badan yang bertanggung jawab atas produksi dan/atau peredaran narkotika, sarana kesehatan tertentu, serta lembaga ilmu pengetahuan tertentu dengan disaksikan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.

(2) Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:

a. nama, jenis, sifat, dan jumlah;

b. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan pemusnahan; dan

c. tanda tangan dan identitas lengkap pelaksanan dan pejabat yang memyaksikan pemusnahan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

Pasal 62

(1) Pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf d dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. dalam hal pemusnahan narkotika dilaksanakan masih dalam tahap penyelidikan dan penyidikan, pemusnahan dilakukan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan disaksikan oleh pejabat yang mewakili Kejaksaan, Departemen Kesehatan, dan Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang menguasai barang sitaan;

b. dalam hal pemusnahan narkotika dilaksanakan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, pemusnahan dilakukan oleh Pejabat Kejaksaan dan disaksikan oleh pejabat yang mewakili Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Departemen Kesehatan.

(2) Apabila dalam keadaan tertentu pejabat yang mewakili instansi sebagaimana dimaksuddalam ayat (1) huruf a tidak dapat dipenuhi, maka pemusnahan narkotika dilakukan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dengan disaksikan pejabat dari tempat kejadian perkara tindak pidana tersebut.

(3) Pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:

a. nama, jenis, sifat, dan jumlah;

b. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan pemusnahan;

c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai narkotika; dan

d. tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan pejabat yang menyaksikan pemusnahan.

(4) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pemusnahan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku bagi pemusnahan narkotika, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.



EKSPOR IMPOR NARKOTIK

Bagian Pertama

Surat Persetujuan Impor dan Surat Persetujuan Ekspor

Pasal 12

(1) Menteri Kesehatan memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan pedagang besar farmasi milik negara yang telah memiliki izin sebagai importir sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melaksanakan impor narkotika.

(2) Dalam keadaan tertentu, Menteri Kesehatan dapat memberi izin kepada perusahaan lain dari perusahaan milik negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang memiliki izin sebagai importir sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melaksanakan impor narkotika.

Pasal 13

(1) Importir narkotika harus memiliki surat persetujuan impor untuk setiap kali melakukan impor narkotika dari Menteri Kesehatan.

(2) Surat Persetujuan impor narkotika Golongan I dalam jumlah yang sangat terbatas hanya dapat diberikan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.

(3) Surat persetujuan impor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada pemerintah negara pengekspor.

Pasal 14

Pelaksanaan impor narkotika dilakukan atas dasar persetujuan pemerintah negara pengekspor dan persetujuan tersebut dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor.

Pasal 15

(1) Menteri Kesehatan memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan pedagang besar farmasi milik negara yang telah memiliki izin sebagai eksportir sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melaksanakan ekspor narkotika.

(2) Dalam keadaan tertentu, Menteri Kesehatan dapat memberi izin kepada perusahaan lain dari perusahaan milik negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang memiliki izin sebagai eksportir sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melaksanakan ekspor narkotika.

Pasal 16

(1) Eksportir narkotika harus memiliki surat persetujuan ekspor untuk setiap kali melakukan ekspor narkotika dari Menteri Kesehatan.

(2) Untuk memperoleh surat persetujuan ekspor narkotika harus dilampiri dengan surat persetujuan dari negara pengimpor.

Pasal 17

Pelaksanaan ekspor narkotika dilakukan atas dasar persetujuan pemerintah negara pengimpor dan persetujuan tersebut dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengimpor.

Pasal 18

Impor dan ekspor narkotika hanya dilakukan melalui kawasan pabean tertentu yang dibuka untuk perdagangan luar negeri.

Pasal 19

Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara memperoleh surat persetujuan impor dan surat persetujuan ekspor narkotika diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

Bagian Kedua

Pengangkutan

Pasal 20

Ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pengangkutan barang, tetap berlaku bagi pengangkutan narkotika kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini atau diatur kemudian berdasarkan ketentuan undang-undang ini.

Pasal 21

(1) Setiap pengangkutan impor narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen persetujuan ekspor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor dan surat persetujuan impor narkotika yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan.

(2) Setiap pengangkutan ekspor narkotika wajib dilengkapi dengan surat persetujuan ekspor narkotika yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengimpor.

Pasal 22

Penanggung jawab pengangkut impor narkotika yang memasuki Wilayah Negara Republik Indonesia wajib membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan surat persetujuan impor narkotika dari Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan ekspor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor.

Pasal 23

(1) Eksportir narkotika wajib memberikan surat persetujuan ekspor narkotika dari Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengimpor kepada orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor.

(2) Orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor wajib memberikan surat persetujuan ekspor narkotika dari Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengimpor kepada penanggung jawab pengangkut.

(3) Penanggung jawab pengangkut ekspor narkotika wajib membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan surat persetujuan ekspor narkotika dari Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengimpor.

Pasal 24

(1) Narkotika yang diangkut harus disimpan pada kesempatan pertama dalam kemasan khusus atau di tempat yang aman di dalam kapal dengan disegel oleh nakhoda dengan disaksikan oleh pengirim.

(2) Nakhoda membuat berita acara tentang muatan narkotika yang diangkut.

(3) Nakhoda, dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam setelah tiba di pelabuhan tujuan, wajib melaporkan narkotika yang dimuat dalam kapalnya kepada Kepala Kantor Pabean setempat.

(4) Pembongkaran muatan narkotika dilakukan dalam kesempatan pertama oleh nakhoda dengan disaksikan oleh Pejabat Bea dan Cukai.

(5) Nakhoda yang mengetahui adanya narkotika di dalam kapal secara tanpa hak, wajib membuat berita acara, melakukan tindakan-tindakan pengamanan, dan pada persinggahan pelabuhan pertama segera melaporkan dan menyerahkan narkotika tersebut kepada pihak yang berwenang.

Pasal 25

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 berlaku pula bagi kapten penerbang untuk pengangkutan udara.

Bagian Ketiga

Transito

Pasal 26

(1) Transito narkotika harus dilengkapi dengan dokumen persetujuan ekspor narkotika yang sah dari pemerintah negara pengekspor dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah dari pemerintah negara pengimpor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor dan pengimpor.

(2) Dokumen persetujuan ekspor narkotika dari pemerintah negara pengekspor dan dokumen persetujuan impor narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat keterangan tentang:

a. nama dan alat pengekspor dan pengimpor narkotika;

b. jenis, bentuk, dan jumlah narkotika; dan

c. negara tujuan ekspor narkotika.

Pasal 27

Setiap perubahan negara tujuan ekspor narkotika pada transito narkotika hanya dapat dilakukan setelah adanya persetujuan dari:

a. pemerintah negara pengekspor narkotika;

b. pemerintah negara pengimpor atau tujuan semula ekspor narkotika; dan

c. pemerintah negara tujuan perubahan ekspor narkotika.

Pasal 28

Pengemasan kembali narkotika pada transito narkotika, hanya dapat dilakukan terhadap kemasan asli narkotika yang mengalami kerusakan dan harus dilakukan di bawah tanggung jawab pengawasan Pejabat Bea dan Cukai.

Pasal 29

Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan transito narkotika ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat

Pemeriksaan

Pasal 30

Pemerintah melakukan pemeriksaan atas kelengkapandokumen impor, ekspor, dan/atau transito narkotika.

Pasal 31

(1) Importir narkotika memeriksa narkotika yang diimpornya dan wajib melaporkan hasilnya kepada Menteri Kesehatan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya impor narkotika di perusahaan.

(2) Berdasarkan hasil laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri Kesehatan menyampaikan hasil penerimaan impor narkotika kepada pemerintah negara pengekspor.



isfi



Minggu, 22 Juni 2008
Main Menu
Home
Organisasi
Info
Sarana Kefarmasian
Artikel
Forum ISFI
Events Agenda
Album Foto
Link
Contact Us

Login Form

You are not logged in.


P E N G A W A S A N PDF Cetak E-mail
Rubrik manajemen
P E N G A W A S A N

TUJUAN DAN RUANG LINGKUP

Pengawasan adalah segenap kegiatan untuk meyakinkan dan menjamin bahwa tugas / pekerjaan telah dilakukan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, kebijaksanaan yang telah digariskan dan perintah ( aturan ) yang diberikan.

Pengawasan merupakan bagian dari fungsi manajemen , disamping fungsi perencanaan, pengorganisasian dan pelaksanaan. Pengawasan adalah tanggung jawab pimpinan , tapi karena tidak mungkin pimpinan melakukan semuanya maka pengawasan dilimpahkan kepada unit pengawasan. Disamping itu pengawasan harus bisa mengukur objek apa yang telah dicapai , menilai pelaksanaan serta mengadakan / menyarankan tindakan perbaikan atau penyesuaian yang dipandang perlu, disamping itu pengawasan sendiri harus bisa mengevaluasi diri tentang apa yang telah dicapainya ( inspeksi diri ).

Secara langsung pengawasan bertujuan untuk :

1. Menjamin ketepatan pelaksanaan sesuai rencana, kebijaksanaan dan perintah (aturan yang berlaku )

2. Menertibkan kordinasi kegiatan
Kalau pelaksana pengawasan banyak , jangan ada objek pengawasan dilakukan
berulang-ulang , sebaliknya ada objek yang tak pernah tersentuh pengawasan.

3. Mencegah pemborosan dan penyimpangan
Karena pengawasan mempunyai prinsip untuk melindungi masyarakat, maka pemborosan dana yang ditanggung masyarakat harus dicegah oleh penyimpangan yang dilakukan pihak kedua. Misalnya harga obat nama dagang yang sepuluh kali obat nama obat generic dengan komposisi dan kualitas yang sama ,pada hal yang berbeda hanya promosinya saja , maka wajarkah biaya promosi yang demikian besar dan cara-cara demikian perlu dipertahankan sebagai prinsip pengawasan yang melindungi masyarakat.

4. Menjamin terwujudnya kepuasan masyarakat atas barang dan jasa yang dihasilkan
Tujuan akhir suatu pekerjaan yang professional adalah terciptanya kepuasan masyarakat ( konsumen ), Masyarakat puas akan datang kembali dan mengajak teman-teman nya , sehingga meningkatkan produksi / penjualan yang akhirnya akan meningkatkan pendapatan perusahaan.

5. Membina kepercayaan masyarakat pada kepemimpinan organisasi
Jika barang atau jasa yang dihasilkan memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat, maka masyarakat tidak saja percaya pada pemberi jasa, tapi juga pada institusi yang memberikan perlindungan pada masyarakat dan akhirnya percaya pula pada kepemimpinan organisasi.

Ruang lingkup / sasaran pengawasan adalah :

a. Sumber daya ( resources = in put ) yang terkenal dengan 5 M.
b. Prosesnya yang mempunyai prosedur tetap dengan standard an cara kerja yang baik sehingga menghasilkan produk yang bermutu.
c. Hasil ( out put ) baik secara kualitatif dan kuantitatif .
Masyarakat percaya saja akan mutu kemanfaatan dan keamanan produk yang dihasilkan , karena itu perlu dilakukan internal audit oleh bagian quality control nya dan eksternal audit oleh institusi pengawas.
d. Aturan lain yang ditetapkan.
Ada jenis produk tertentu yang kalau sampai ke konsumen memerlukan jalur yang perizinan . Produk ini mempunyai efek utama , efek samping, dosis, kontra-indikasi, interaksi ataupun sifat resistensi dan toleransi. Aturan dimana kompetensi diperlukan harus ditegakkan bukan disalahgunakan sehingga pengawasan itu bersifat adil.

Walaupun sangat penting , namun harus selalu diingat bahwa pengawasan itu merupakan suatu " cost item ", artinya memerlukan biaya yang besar dari awal sampai akhir ( dapat kesimpulan ).. Karena itu sangat diperlukan efisiensi dalam penggunaan dana dan material, dengan dana yang tersedia, metoda yang baik serta peralatan yang efektif, pemecahan masalah yang tidak pilih kasih, bisa mencapai sasaran yang luas. Janganlah suatu objek (produk / sediaan ) dilakukan pengawasan berulang-ulang disuatu atau beberapa tempat dalam waktu yang lama, sebaliknya banyak objek lain yang tak tersentuh pengawasan .Atau ada suatu kelompok sarana jadi kambing hitam pelanggaran, sebaliknya ada kelompok lain yang tak tersentuh atau terlindung dari pengawasan .

Dengan terlaksananya efisiensi dan efektifitas maka kepercayaan pada pimpinan organisasi dari yang rendah sampai ke yang tertinggi ada dan terpelihara dengan baik. Dan rumor tentang adanya " mafia " atau yang dilindungi itu tidak benar.

PENGAWASAN, PENGENDALIAN DAN PENYIDIKAN.

Pengawasan adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan secara menyeluruh dengan mengadakan perbandingan yang seharusnya ( das Sollen ) dan yang adanya ( das Sein ) ( Prof.DR. Sumardjo Tjitrosidoyo mantan Kepala LAN ).

Pengawasan adalah pemeriksaan yang berhenti setelah mengkonstatir dan memberitahukan / menyarankan ada sesuatu yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan pada atasan yang bertanggung jawab. ( Drs. Gandhi mantan Kepala BPKP ).
Jadi baik Sumardjo maupun Gandhi menyatakan bahwa pengawasan di tindaklanjuti setelah mendapatkan temuan-temuan dan temuan tersebut dilaporkan kepada yang bertanggung jawab atas misi tersebut. BPKP setelah mengaudit suatu instansi selalu membuat laporan kepada atasan yang diperiksa , jadi disini auditor tidak merangkap eksekutor.Begitu juga kalau mengaudit sesuatu lembaga negara maka pihak pengawasan melaporkannya pada DPR dan Pemerintah.

Pengendalian adalah pengawasan yang mempunyai wewenang untuk melakukan tindak turun tangan. ( Sumardjo T ; Dal = Was + tindak turun tangan ) atau pengendalian adalah pengawasan yang dilanjutkan dengan tindakan koreksi..
(Gandhi ; Dal = Was + tindak lanjut )

Penyidikan adalah serangkaian tindakan untuk mencari / mengumpulkan bukti-bukti yang dengan bukti itu membuat jelas tentang tindak pidana yang terjadi serta mencari pelakunya. Jadi penyidikan itu merupakan suatu proses dimana dicurigai telah terjadi tindak pidana.

Penyidikan terdiri empat tahap yaitu ; penyelidikan , penindakan , pemeriksaan dan penyelesaian serta penyerahan berkas perkara. Jadi penyidikan berbeda dengan pengawasan dan pengendalian Kalau dalam pemeriksaan sarana kesehatan yang sudah mendapat izin dari Menteri Kesehatan atau institusi yang telah mendapatkan pendelegasian perizinan , maka itu adalah tugas dari suatu institusi dibawah / dikordinasi Departemen Kesehatan , bukan Kepolisian.. Kepolisian adalah pengawasan dalam tindak pidana ( pelanggaran undang-undang). Pemeriksaan secara rutin sarana kesehatan / kefarmasian adalah tugas dari institusi pengawasan , sedang kalau dicurigai telah terjadi tindak pidana maka penyidik pegawai negeri sipil ( PPNS ) dapat memprosesnya dalam bentuk penyidikan pendahuluan dan selanjutnya menyerahkan perkaranya kepada penyidik umum Polri bukan dipanggil menghadap kekantor pengawas. Sanksi dari penyimpangan peraturan biasanya sanksi administratif berupa teguran , peringatan sampai kepada yang tertinggi berupa pencabutan izin.

PENGAWASAN KEFARMASIAN.

Tujuan pengawasan sediaan farmasi adalah :
1. Melindungi masyarakat dari sediaan farmasi yang tidak memenuhi syarat ( TMS ).
2. Melindungi masyarakat dari penyalahgunaan dan salah penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan.
3. Mencegah persaingan tidak sehat antar perusahaan farmasi.

Sediaan farmasi yang tidak memenuhi syarat mungkin banyak terdapat pada obat tradisional, obat , atau makanan baik yang terdaftar atau tidak terdaftar. Begitu juga apakah produk sediaan farmasi yang kebanyakan untuk konsumsi dokter praktek itu tersentuh pengawasan mutu , karena produk pabrik ini kebijaksanan marketingnya jarang ditemukan di apotik yang biasa di sampling petugas pengawasan. Sediaan farmasi yang di salahgunakan mungkin saja psikotropik / narkotik atau bisa saja zat adiktif lainnya seperti minuman beralkohol .

Kalau dalam proses pembuatan minuman beralkohol itu harus dilakukan dari fermentasi dan penyulingan , apakah pihak pengawas yakin produksi yang beribu-ribu liter per hari itu hasil fermentasi ? Mungkinkah ? Ataukah hanya dengan mencampur alkohol teknis dengan essence saja ? Jika demikian telah terjadi penyalahgunaan proses dan bahan baku , kasihan nasib bangsa ini. Salah penggunaan mungkin banyak terjadi pada pemakaian obat keras , yang seharusnya dengan resep dokter, tapi khusus di Indonesia bisa diperoleh di sarana pelayanan kefarmasian apotik dan toko obat mana saja .Seharusnya pihak pengawas bisa menutup dari hulunya bukan dipantau dari hilir saja. Persaingan tidak sehat antar perusahaan farmasi terjadi secara besar-besaran. Bukan rahasia lagi dikalangan dokter dan apoteker bahwa ada pemberian komisi setiap bulan yang totalnya entah berapa milyard dari perusahaan tertentu , dan tentu ini diambil dari harga obat yang biaya promosinya bisa sekitar sepuluh kali harga obat dan hal ini ditanggung oleh pasien / konsumen. Siapa saja yang terima komisi ini ? Bahkan pernah seorang dokter menulis dalam media massa , adanya mafia obat jangan salahkan dokter saja tapi apoteker juga ikut bersalah .

Kalau begitu punya niatkah kita memperbaikinya dan melindungi masyarakat ( rakyat kecil ) ? Disamping itu jika harga obat dengan nama generik dan nama dagang terlalu jauh , bisa terjadi pemalsuan merek, dimana bungkus luar obat generik diganti dengan obat nama dagang atau terjadi penyelundupan obat yang semerek dari negara tetangga.
Kita berharap Ibu kita yang di Kuningan dan Rawasari bisa memecahkan masalah ini (problem solving ) bukan mencari kambing hitam , setidaknya secara bertahap bisa diperbaiki / dikurangi . Sudah tentu memerlukan bantuan kita semua yang ingin proses pelayanan kesehatan dan kefarmasian di benahi di negeri ini sesuai dengan sumpah dan slogan orpol untuk melindungi dan membantu rakyat kecil.

Mari kita lihat kembali Undang-undang Kesehatan kita yang belum terrevisi juga seperti dibawah ini :

Tugas Pemerintah adalah mengatur , membina dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan. Diantara upaya kesehatan itu antara lain adalah pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan, pengamanan zat adiktif dan pengamanan makanan dan minuman. Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu, kemanan dan kemanfaatan. Pemerintah melakukan pembinaan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan upaya kesehatan disamping Pemerintah yang memberikan izin terselenggaranya sarana kesehatan. Pemerintah juga melakukan pengawasan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan penyeleggaraan upaya kesehatan dan atau sarana kesehatan baik yang dilakukan oleh Pemerintah maupun masyarakat. Pemerintah berwenang mengambil tindakan administrative terhadap tenaga kesehatan dan atau sarana kesehatan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang Kesehatan ini.

Pengawasan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan oleh Menteri ( yang bertanggung jawab dibidang kesehatan ). Menteri dalam melaksanakan pengawasan , mengangkat tenaga pengawas yang bertugas melakukan pemeriksaan dibidang pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan.Tenaga pengawas dalam melakukan tugas dan fungsinya dilengkapi dengan surat pengenal dan surat perintah pemeriksaan. Setiap orang yang bertanggung jawab atas tempat dilakukannya pemeriksaan oleh tenaga pengawas mempunyai hak untuk menolak pemeriksaan apabila tenaga pengawas yang bersangkutan tidak dilengkapi dengan tanda pengenal dan surat perintah pemeriksaan. Apabila hasil pemeriksaan oleh tenaga pengawas menunjukkan adanya dugaan atau patut diduga adanya pelanggaran hukum dibidang sediaan farmasi dan alat kesehatan segera dilakukan oleh penyidik yang berwenang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku ( PPNS ).

Jadi dalam hal ini tidak bisa oknum tertentu langsung memeriksa sarana kefarmasian apalagi melakukan tindakan yang bersifat pemerasan. Menteri dapat mengambil tindakan administrative terhadap sarana kesehatan dan tenaga kesehatan yang melanggar hukum dibidang sediaan farmasi dan alat kesehatan. Pemerintah melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan yang berhubungan dengan narkotika. Menteri Kesehatan ( bukan polisi ) bertanggung jawab dalam pengendalian dan pengawasan terhadap importir , eksportir , pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek , rumah sakit , puskesmas , balai pengobatan , dokter , lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga rehabilitasi medis.

Pemerintah melakukan pengawasan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika, baik yang dilakukan oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat. Dalam rangka pengawasan tersebut Menteri ( Kesehatan ) berwenang mengambil tindakan administratif terhadap pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan farmasi pemerintah, apotek , rumah sakit , puskesmas, balai pengobatan , dokter , lembaga penelitian dan atau lembaga pendidikan dan fasilitan rehabilitasi medik yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang ini.

Beberapa sanksi dari pelanggaran undang-undang yang perlu diktahui Apoteker di apotekantara lain adalah; Pimpinan Rumah Sakit , puskesmas, balai pengobatan , sarana penyimpanan sediaan farmasi pilik Pemerintah, apotek dan dokter yang mengedarkan narkotika golongan II dan III ( yang boleh digunakan sebagai obat ) bukan untuk kepentingan pengobatan , adalah dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp.200, juta .
Penyerahan psikotropika oleh apotek , rumah sakit , puskesmas dan balai pengobatan, bukan kepada pasien , dan tidak berdasarkan resep dokter dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp.60, juta .
Mudah-mudahan undang undang yang ada tidak disalahgunakan oleh oknum untuk hal -hal yang melanggar undang-undang ( pagar makan tanaman ).

( Berdasarkan pasal-pasal dalam Undang-undang Kesehatan No.23 tahun1992 dan P.P. No.72 tahun 1998 serta U.U. No.22 thn 1997 ttg Narkotika ,UU. No.5 thn 1997 ttg Psikotropika )

(AZWAR DARIS)

<>
Berikutnya >