Sabtu, 27 September 2008

Selasa, 15 Juli 2008

Minggu, 22 Juni 2008

PATEN

Paten

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.


Menurut undang-undang nomor 14 tahun 2001 tentang Paten, Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. (UU 14 tahun 2001, ps. 1, ay. 1)

Sementara itu, arti Invensi dan Inventor (yang terdapat dalam pengertian di atas, juga menurut undang-undang tersebut, adalah):

  • Invensi adalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. (UU 14 tahun 2001, ps. 1, ay. 2)
  • Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan Invensi. (UU 14 tahun 2001, ps. 1, ay. 3)

Kata paten, berasal dari bahasa inggris patent, yang awalnya berasal dari kata patere yang berarti membuka diri (untuk pemeriksaan publik), dan juga berasal dari istilah letters patent, yaitu surat keputusan yang dikeluarkan kerajaan yang memberikan hak eksklusif kepada individu dan pelaku bisnis tertentu. Dari definisi kata paten itu sendiri, konsep paten mendorong inventor untuk membuka pengetahuan demi kemajuan masyarakat dan sebagai gantinya, inventor mendapat hak eksklusif selama periode tertentu. Mengingat pemberian paten tidak mengatur siapa yang harus melakukan invensi yang dipatenkan, sistem paten tidak dianggap sebagai hak monopoli.

PATEN

Paten

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.


Menurut undang-undang nomor 14 tahun 2001 tentang Paten, Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. (UU 14 tahun 2001, ps. 1, ay. 1)

Sementara itu, arti Invensi dan Inventor (yang terdapat dalam pengertian di atas, juga menurut undang-undang tersebut, adalah):

  • Invensi adalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. (UU 14 tahun 2001, ps. 1, ay. 2)
  • Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan Invensi. (UU 14 tahun 2001, ps. 1, ay. 3)

Kata paten, berasal dari bahasa inggris patent, yang awalnya berasal dari kata patere yang berarti membuka diri (untuk pemeriksaan publik), dan juga berasal dari istilah letters patent, yaitu surat keputusan yang dikeluarkan kerajaan yang memberikan hak eksklusif kepada individu dan pelaku bisnis tertentu. Dari definisi kata paten itu sendiri, konsep paten mendorong inventor untuk membuka pengetahuan demi kemajuan masyarakat dan sebagai gantinya, inventor mendapat hak eksklusif selama periode tertentu. Mengingat pemberian paten tidak mengatur siapa yang harus melakukan invensi yang dipatenkan, sistem paten tidak dianggap sebagai hak monopoli.

UNDANG UNDANG KOSMETIK

Perlindungan Konsumen
Keamanan Permen dan Kosmetik

Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan atau BBPOM mengadakan operasi permen berformalin. Dalam kurun waktu enam bulan terakhir, berita tentang perlindungan konsumen terus bermunculan. Sebab, kasus mi berformalin sampai dengan tidak dicantumkannya pengawet dalam label minuman dalam kemasan merupakan rentetan kejadian pelanggaran akan hak dasar konsumen yang sebenarnya dilindungi undang-undang.

Tidak bisa dibayangkan risiko yang ditanggung konsumen setelah mengonsumsi permen yang diduga mengandung formalin. Bayangan lebih menakutkan muncul apabila kita mengetahui bahwa barang konsumsi dengan spesifikasi permen tidak hanya dikonsumsi oleh orang dewasa, tetapi juga anak-anak.

Sejak tahun 1999 Indonesia telah memiliki undang-undang yang memberikan perlindungan kepada konsumen, yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang pada April 2007 genap berusia delapan tahun.

Hasil konkret dari pemberlakuan undang-undang tersebut, misalnya, konsumen mulai terbiasa memerhatikan batas waktu kedaluwarsa sebelum membeli sebuah produk. Konsumen juga mulai membiasakan diri membaca keterangan tentang rincian bahan baku yang terkandung di dalam barang yang dibelinya.

Dalam bidang perlindungan konsumen, secara umum tugas pemerintah tercantum dalam Pasal 3 UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan menghindarkan diri dari ekses negatif pemakaian barang dan atau jasa.

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.

6. Meningkatkan kualitas barang dan atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Tugas pemerintah yang relatif sulit diwujudkan berkaitan dengan yang tercantum dalam huruf d Pasal 3 UU No 8/1999, di mana di dalamnya tersirat tugas menyinergikan undang-undang yang satu dengan yang lain, khususnya UU No 8/1999 dengan undang-undang lain. Sebab, penegakan hukum UU Perlindungan Konsumen dapat terlaksana apabila penegakan dilakukan tidak hanya dalam konteks penegakan undang-undang tersebut, tetapi juga dalam konteks penegakan undang-undang yang lain. Masalah perlindungan

Secara empirik, sering kali terjadi pelanggaran yang sifatnya mendasar, seperti pelaku usaha menjual barang kedaluwarsa. Namun, tidak ada tindakan hukum karena kurangnya kuantitas dan kualitas SDM yang berwenang. Kurangnya kuantitas SDM berdampak pada kurangnya kontrol terhadap pelaku usaha. Adapun kurangnya kualitas SDM akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran oleh pelaku usaha tanpa disertai tindakan hukum atas apa yang dilakukan pelaku usaha tersebut oleh pihak berwenang.

Menilik pelaku penegakan hukum lainnya, yaitu pelaku usaha, mereka dituntut lebih profesional dan bertanggung jawab dengan tidak hanya mengedepankan keuntungan semata, tetapi juga kualitas produk yang tentunya aman bagi konsumen.

Di sisi lain, masyarakat atau konsumen pada umumnya dituntut semakin kritis terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha. Terhadap produk-produk barang, konsumen hendaknya selalu teliti dalam membeli dengan memerhatikan masa waktu kedaluwarsa, bahan baku barang tersebut, dan kandungan peng-awet yang terdapat di dalamnya, seperti natrium benzoat (na benzoat) atau kalium zorbat (K zorbat).

Na benzoat dan K zorbat adalah dua nama pengawet makanan yang sering kali kita baca dan temukan dalam kemasan makanan atau minuman. Namun, pada umumnya pencantuman istilah tersebut dalam kemasan hanya sekadar untuk memenuhi persyaratan yang ditentukan undang-undang. Tentunya jauh lebih baik bila pencantuman bahan baku tidak hanya untuk memenuhi apa yang telah disyaratkan peraturan perundang-undangan, tetapi juga bertujuan memberikan informasi sejauh mana bahan-bahan tersebut aman dikonsumsi. Namun, bila hal tersebut belum memungkinkan, konsumen harus diberdayakan untuk dapat menggali informasi sejauh mana kadar bahan-bahan pengawet tersebut aman dikonsumsi.

Persoalan lain dalam konteks perlindungan konsumen, diyakini sebagian besar konsumen tidak mengetahui bahwa saat mengonsumsi makanan dalam kemasan, saat itu pula konsumen mengonsumsi bahan pengawet. Padahal, dari apa yang dipaparkan oleh beberapa media cetak dan elektronik, patut diduga bahwa secara kumulatif konsumsi makanan dalam kemasan yang mengandung bahan pengawet dapat mengakibatkan berbagai jenis penyakit yang tentu tidak diinginkan.

Konsumen pada umumnya tidak mengetahui ambang batas bahan pengawet yang diperkenankan dikonsumsi tubuh manusia. Saat ini sebagian konsumen baru mengetahui makanan atau minuman dalam kemasan tidak menggunakan bahan pengawet bila pelaku usaha secara tegas menyatakan produknya tidak menggunakan bahan pengawet. Akan tetapi, konsumen tidak dapat memastikan apakah makanan atau minuman yang akan dikonsumsi tersebut benar-benar tidak menggunakan bahan pengawet, atau benar-benar aman dikonsumsi.

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa para pelaku yang terlibat dalam perlindungan konsumen meliputi konsumen, pemerintah, dan pelaku usaha. Namun, bila kita menelaah Pasal 3 UU No 8/1999 seperti telah diuraikan sebelumnya, tanggung jawab pemerintah dan pelaku usaha jauh lebih dominan dibandingkan dengan konsumen.

Regulasi yang dihasilkan pemerintah yang sekaligus berperan sebagai konsumen, dan pengawasan pelaku usaha yang sifatnya administratif dan non-administratif yang dijalankan pemerintah, tentu dan seharusnya berdampak pada keberpihakan pemerintah kepada konsumen secara keseluruhan.

Di sisi lain, esensi pelaku usaha yang juga berperan sebagai konsumen seharusnya membawa konsekuensi pada tanggung jawab produk (product liability) dan tanggung jawab profesional (professional liability) atas produk dan jasa yang dihasilkan pelaku usaha.

Bilamana dua pelaku, pemerintah dan pelaku usaha, memahami esensi tugas pokok masing-masing, seharusnya konsumen merasa aman mengonsumsi dan menggunakan produk/jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha, termasuk di dalam permen dan kosmetik.

UNDANG UNDANG KONSUMEN

UU RI No.8 Thn.1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Selasa, 13 April 2004 | 11:46 WIB

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN

DENGAN RRAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :


a. Bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu
masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual dalam era demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945;

b. bahwa pembangunan perekonomiian nasional pada era globalisasi harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan / atau jasa yang memiliki
kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas
barang dan/atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa
mengakibatkan kerugian konsumen;

c. bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan/atau jasa yang diperolehnya dipasar;

d. bahwa untuk ,meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu
meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap usaha yang bertangguung jawab;

e. bahwa ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di
Indonesia belum memadai;

f. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas diperlukan perangkat
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan keseimbangan
perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga
tercipta perekonomian yang sehat;

g. bahwa untuk itu perlu dibentukk Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen;


Mengingat :

Pasal5 Ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 27, dan pasal 33 Undang-undang Dasar 19