Selasa, 04 Desember 2007

Oleh : Riza Sihbudi (Peneliti LIPI)
Setelah terjadi kasus serangan teroris yang paling fenomenal di Amerika Serikat (AS) pada 11 September 2001, salah satu diskursus yang muncul ke permukaan dalam khasanah politik internasional maupun domestik, khususnya yang berkaitan dengan persoalan religio-politik, adalah mengenai "radikalisme" Islam. Dalam sejumlah literatur, istilah radikalisme, fundamentalisme, revivalisme, atau neofundamentalisme Islam memiliki tafsiran yang sulit untuk dibedakan satu sama lain, yang semuanya merujuk pada fenomena "kebangkitan" gerakan Islam politik.

John L Esposito (1997), misalnya, menyamakan istilah Islam politik dengan "fundamentalisme Islam" (ditulis dalam tanda kutip) atau gerakan-gerakan Islam lainnya. Sementara Oliver Roy (1994) cenderung menafsirkan Islam politik sebagai aktivitas kelompok-kelompok yang meyakini Islam sebagai agama dan sekaligus sebagai ideologi politik ("the activist groups who see in Islam as much a political ideology as a religion"). Sedikit berbeda dengan Esposito, Roy lebih spesifik merujuk pada apa yang ia sebut sebagai gerakan neofundamentalisme yang antara lain menghendaki pemberlakuan syariat Islam. Istilah radikalisme umumnya dipakai baik oleh kalangan akademisi maupun media massa untuk merujuk pada gerakan-gerakan Islam politik yang berkonotasi negatif seperti "ekstrem, militan, dan nontoleran" serta "anti-Barat/Amerika."

Bahkan sejak dikumandangkannya genderang perang melawan terorisme oleh Presiden AS George W Bush pasca 11 September 2001, istilah radikalisme dan fundamentalisme dicampur-adukkan dengan terorisme. Ironisnya, tidak jarang pula cap fundamentalisme diberikan kepada para pemeluk Islam yang menerima kitab suci mereka, al-Quran dan Hadis sebagai jalan hidup mereka. Dengan kata lain, "kebanyakan dari penegasan kembali agama dalam politik dan masyarakat tercakup dalam istilah fundamentalisme Islam" (Esposito, 1992). Sebagaimana dikatakan Esposito, persepsi umum tentang fundamentalisme sangat dipengaruhi oleh Protestanisme Amerika, di mana istilah itu dipahami sebagai "sebuah gerakan Protestanisme abad kedua puluh yang menekankan penafsiran Injil secara literal sebagai hal yang fundamental bagi kehidupan dan ajaran Kristen." Menurut Esposito, "Bagi banyak orang Kristen, 'fundamentalis' adalah hinaan, yang digunakan agak sembarangan untuk orang-orang yang menganjurkan posisi Injil yang literalis dan dengan demikian dianggap statis, kemunduran, dan ekstremis

Tidak ada komentar: